Misa Inkulturasi Budaya Sumatera Utara

Inkul Batak

Penulis : Libertus S. Pane, Sekretaris Panitia Misa Inkulturasi

Mosaik Kekayaan Gereja

Untuk kesekian kalinya, komunitas umat Katolik Paroki Pamulang asal Provinsi Sumatera Utara, mendapat kepercayaan untuk mendukung perayaan Misa bernuansa Budaya Sumatera Utara (Sumut). Misa Inkulturasi diselenggarakan hari Minggu, tanggal 28 Mei 2023 lalu. Perayaan Misa Inkulturasi ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Lustrum VI Paroki. Dengan mengusung tema “Rukun dengan Sesama, Menyatu dengan Gereja”, komunitas yang lebih dikenal dengan nama IKKSU (Ikatan Keluarga Katolik Sumatera Utara), menunjukkan kekompakan dalam perbedaan.

Terdapat berbagai suku atau puak yang terlibat. Ada puak Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Nias, Angkola, Mandailing, dan puak lain seperti Melayu dan Pujakesuma (Putera/i Jawa Kelahiran Sumatera), yang orangtua atau kakek neneknya sudah tinggal di Sumut.

Misa Inkulturasi ini dibawakan oleh sembilan Imam Konselebran, yang dipimpin oleh Pastor Kepala Paroki Pamulang Gereja St. Barnabas, Pastor Petrus Cipto Nugroho SCJ. Imam konselebran lain adalah Pastor Hieronymus Indra Sepriandika SCJ (Pastor Rekan Paroki Pamulang), Pastor Philipus Adhitya Subono SCJ, Pastor Santono Situmorang OFM (Novisiat Transitus, Depok), Pastor Flavianus Levi Lidi Pakpahan SVD (Paroki St. Arnoldus Jansen Bekasi), Pastor Wempy Da Silva SVD (Keuskupan Agung Ende, Flores), Pastor Yohanes Jon Lein (Keuskupan Larantuka, Flores), Pastor Martinus Widiyanto Pr (Keuskupan Agung Palembang), serta Pastor Andreas Sutrisno (Keuskupan Tanjung Karang).

Atmosfer fisik Gereja, terlihat ramai dengan nuansa warna merah. Selain bertepatan dengan perayaan Pentakosta yang memang dalam tradisi Katolik menggunakan warna merah, juga selaras dengan warna-warni ulos yang menghiasi altar dan aneka sudut Gereja. Warna merah merupakan perlambang kasih, kebajikan, pengorbanan, dan martir. Yang lebih berkesan dan utama, tentu adalah atmosfer rohani, yang tergambar dari seluruh rangkaian Misa.

Pembukaan diawali dengan tradisi a la Toba, berupa ritual mangido gondang (meminta gendang). Tradisi ini merupakan ungkapan penghormatan kepada Tri Tunggal Maha Suci, semesta alam, Imam dan seluruh umat. Gondang pembuka dinamai Gondang Mula-mula, yang mengungkapkan permulaan penciptaan Tuhan. Gondang kedua adalah Gondang Somba. Gondang Somba merupakan ungkapan penyembahan kepada Allah Yang Maha Pengasih, yang disertai doa permohonan berkat agar acara berjalan baik. Kemudian, gondang ketiga adalah Gondang si Bunga Jambu, sebagai gondang pengiring Imam memasuki altar.

Sebagian besar unsur liturgi menggunakan nuansa dan bahasa Sumatera Utara. Beberapa lagu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Namun ordinarium, persembahan, lagu komuni dan lagu penutup, merupakan kombinasi dari beberapa lagu khas puak-puak yang ada di Sumatera Utara. Tentu saja, koor IKKSU harus bekerja keras dalam waktu yang cukup singkat, mempersiapkan lagu lagu Misa dengan baik. Berkolaborasi dengan pemusik tradisional yang dikomandoi Kasdin Sihotang, Misa semakin syahdu, hikmat, sekaligus semarak, dengan penampilan koor dan pemusik yang sangat kompak.

Lagu pembuka berjudul Datanglah O Tuhan, merupakan adaptasi lagu Toba berjudul Sigulempong, berpadu dengan tarian Toba yang dibawakan anak-anak BIA dan BIR. Persembahan diiringi lagu Karo berjudul Mbuah Page (Gaya Karo), berpadu dengan tarian Karo yang dibawakan anak-anak OMK. Selanjutnya ritual penutup dilakukan dengan gaya Toba, yaitu dengan Gondang Siuk-siuk. Makna ritual ini adalah ungkapan syukur, terima kasih, penghormatan kepada para Imam, sekaligus memohon berkat Tuhan melalui tumpangan tangan Imam.

Lalu, lagu penutup diramu dalam bentuk medley, yaitu rangkaian empat lagu daerah. Lagu pertama berjudul Mejuah-juah (gaya Karo). Mejuah-juah berarti sehat sejahtera lahir batin, aman, damai, bersemangat serta keseimbangan dan keselarasan antara manusia dan manusia, antara manusia dan lingkungan, dan antara manusia dengan Tuhan.

Lagu kedua adalah Ta’orara ‘O Dodora (gaya Nias). Lagu ini merupakan ajakan melakukan kehendak Allah dan berbelarasa, sesuai dengan yang telah diteladankan-Nya.

Lagu ketiga adalah Aloi Mo Kami Tuhan (gaya Pakpak). Lagu ini merupakan madah pujian sekaligus permohonan berkat Tuhan.

Lagu keempat atau penutup adalah Ham Naibata Jahowa Tuhan Nami (gaya Simalungun). Lagu ini mengajak umat menyembah Tuhan, sumber kedamaian dan rahmat pengampunan dosa.

Dalam nuansa medley dengan hentakan musik gembira, keempat lagu ini terdengar merdu dan seirama menembus sukma.

Homili dibawakan oleh Pastor Santono Situmorang OFM. Dalam homilinya, Pastor Santono mengingatkan kembali nilai-nilai persaudaraan dan pengajaran yang dimulai dari keluarga. Pastor mengajak umat bertanya retoris, apakah masih menjaga dan membina semangat persaudaraan, mulai dari hal kecil ?

Misalnya kebiasaan makan dalam keluarga. Apakah keluarga masih menghidupkan tradisi makan bersama, atau sudah sendiri-sendiri? Tradisi makan bersama, bukan hanya momen fisik memasukkan makanan jasmani ke dalam tubuh, tetapi juga memasukkan “makanan rohani” kepada anak-anak melalui pengajaran dan penanaman nilai-nilai kristiani.

Pastor Santono mengajak umat merefleksikan Gereja Perdana, yang lahir dari semangat persatuan yang ditunjukkan dan dijiwai oleh murid-murid Kristus. Para murid membuka diri dengan karunia Roh Kudus. Keterbukaan inilah yang diharapkan terus hidup dalam semangat beriman umat Katolik, termasuk di Paroki Pamulang.

Mosaik Perbedaan

Dalam sambutan menjelang penutupan Misa, Libertus S. Pane, mewakili Panitia Misa Inkulturasi, menyinggung korelasi antara perbedaan dan persatuan, yang merupakan keniscayaan dalam masyarakat yang heterogen. Libertus mengumpamakan perbedaan-perbedaan yang ada dalam Gereja dan juga realitas masyarakat ibarat mosaik dari suatu lukisan kaca. Mosaik merupakan kumpulan potongan kaca warna-warni. Jika potongan-potongan ini dirangkai secara proposional dan disatukan dalam satu pola, maka mosaik akan menjadi karya nan indah, seperti pelangi selepas hujan.

Namun apabila potongan itu terlepas dari pola mosaik, maka potongan itu berubah menjadi kaca biasa, seolah tanpa makna. Bahkan bisa disebut sebagai beling, yang umumnya dikonotasikan tidak berguna, atau malah dapat membahayakan. Artinya, apabila terdapat saling pengertian dan kolaborasi, perbedaan akan menjadi kekayaan.

Namun apabila perbedaan itu terlalu tajam lalu kemudian pecah atau terpisah, maka pola itu tidak lagi utuh dan yang berpisah pun terlihat kehilangan bentuk. Seperti itulah kondisi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jika perbedaan tidak dirawat dengan sungguh-sungguh, maka perbedaan akan berubah menjadi ancaman.

Pengandaian ini juga terlihat dalam kekompakan panitia Misa Inkulturasi, yang berupaya merangkul semua puak. Kepanitiaan dipimpin Ramsius Simamora dari puak Toba, dan wakil ketua dijabat Immanuel Tarigan dari puak Karo dan Asal Padang mewakili puak Pakpak.

Seksi-seksi, persembahan-persembahan, wakil umat, dan sebagainya sedapat mungkin bersifat representatif. Memang tidak sempurna dan tidak selalu bisa ideal, karena berkaitan dengan kecukupan personalia, ketersediaan lagu hingga kemampuan koor menyanyikan lagu. Seperti lagu penutup, diupayakan mewakili puak Karo, Nias, Simalungun, dan Pakpak.

Demikian juga dengan pendanaan, semua terlibat berkontribusi sesuai kemampuan masing-masing umat. Kesatuan itu ternyata tidak hanya dalam internal Paroki. Beberapa umat Katolik asal Sumut dari Paroki lain juga hadir. Di antaranya adalah umat IKKSU Paroki Cilandak St. Sefanus sebanyak 15 orang.

Selain hari, ada juga donatur kegiatan ini dari luar Paroki. Perayaan Misa Inkulturasi ini juga merupakan hasil koordinasi dan kolaborasi yang baik dengan berbagai unsur seperti Pastor, Dewan Paroki, Panitia Lustrum, Seksi Liturgi, Seksi PPG, Komsos, dan berbagai unsur lain.

Apa yang terlihat dalam Misa Inkulturasi Budaya Sumut, sesungguhnya merupakan “miniatur” keanekaragaman yang menjadi ciri khas Gereja Katolik.

Gereja Katolik merangkul segala suku dalam Gereja, yang berkumpul dalam satu wadah yaitu Gereja Katolik Universal. Karena itu, tidak ada pilihan lain, selain merawat perbedaan. Misa Inkulturasi bukan upaya menonjolkan budaya tertentu, melainkan cara Gereja memberikan ruang kepada umat untuk memperkenalkan diri dan juga agar semakin dikenal oleh yang lain. Tujuan akhir adalah pertemuan dalam harmoni dan semangat saling menghormati.

Pesta Budaya dan Ramah Tamah

Selain misa, komunitas IKKSU juga sekaligus menyelenggarakan Pentas Budaya Sumut, yang dilakukan setelah Misa. Dalam pentas budaya ini, kembali masing-masing puak tampil membawakan tarian dan lagu daerah. Puak Nias menampilkan dua tarian, tari moyo dan maena, yang dibawakan anak-anak muda. Puak Karo menampilkan beberapa tarian, yang terkenal dengan ritme gembira, membuat suasana semakin meriah. Puak Toba menampilkan lagu berjudul “Situmorang”.

Yang istimewa, tampil di panggung Pastor bermarga Situmorang, yaitu Pastor Santono Situmorang OFM. Pastor Santono merupakan salah satu Imam konselebran. Puak Simalungun menampilkan lagu berjudul Dedeng. Lagu ini juga sangat terkenal di kalangan puak Toba. Bahkan dalam pernikahan puak Toba, lagu Dedeng sudah seperti menjadi lagu wajib.

Umumnya di kalangan masyarakat Sumatera Utara, terdapat pembauran budaya yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya dalam hal-hal yang ringan seperti lagu-lagu. Banyak orang Toba yang dapat menyanyikan dan juga menyukai lagu Karo.

Demikian juga sebaliknya. Termasuk juga makanan dan minuman khas masing-masing, yang juga disukai puak lain. Intinya, jika bisa saling menerima, maka dengan sendirinya juga akan saling memperkaya.

Sebagai ujud syukur dan ungkapan terima kasih atas penggembalaan para Pastor Paroki, komunitas IKKSU Paroki Pamulang memberikan cindera mata kepada para Pastor. Cinderamata dari puak Nias adalah rompi tradisional, yang diserahkan kepada Pastor Hyeronimus Indra Sepriandika SCJ. Cinderamata berupa ulos-ulos/uis Toba, Karo, dan Pakpak masing-masing diberikan kepada Pastor Petrus Cipto Nugroho SCJ, Pastor Flavius Levi Lidi Pakpahan SVD, dan Pastor Santono Situmorang OFM. Setelah pemberian cinderamata, para pastor yang hadir diwakili oleh pastor Petrus, memberikan kata sambutan.

Pada sambutannya, Pastor Petrus menyampaikan apresiasi kepada warga IKKSU, sekaligus menyampaikan pesan agar warga IKKSU terus menjaga persaudaraan, dan mengambil bagian dalam kegiatan-kegiatan di Paroki. Selain

Pastor, sambutan juga diberikan oleh Pengurus IKKSU Pusat/Jabodetabek, yang diwakili oleh Delson Hutasoit, bendahara IKKSU Pusat.

Ada cerita yang menarik terkait dengan Pastor Pastor Flavius Levi Lidi Pakpahan SVD. Pastor ini berasal dari Flores. Namun kemudian dimargakan atau mendapat marga Pakpahan saat bertugas di Sumatera Utara, tepatnya di daerah Dolok Sanggul. Pastor Levi tidak hanya pandai berbahasa Batak, tetapi juga pandai menyanyi lagu-lagu Batak Toba. Kehadiran Pastor Levi Pakpahan yang urang asli NTT ini dan Pastor Santono Situmorang yang memang “Situmorang asli”, menambah semarak suasana.

Ditemani lampet, panggang, dan minuman markisa khas Sumatera Utara, warga IKKSU terlihat berlimpah sukacita.

Acara ramah tamah dan pesta budaya Sumut berlangsung sampai pukul 15.30 WIB, yang ditutup dengan berkat dari Pastor Santono Situmorang OFM.

Sekilas tentang Sumut dan Gereja Katolik Sumut

Sumatera Utara (Sumut) termasuk provinsi tertua di Indonesia. Provinsi yang berada di bagian ujung Indonesia Barat ini merayakan hari jadi pada tanggal 15 April 1948. Di jaman Hindia Belanda, Medan (yang saat ini merupakan ibukota provinsi), merupakan pusat pemerintahan. Pemerintahan kolonial dikenal dengan nama Gouvernement van Sumatra. Jadi saat itu, pulau Sumatera merupakan salah satu satu provinsi di era pemerintahan Hindia Belanda (www.sumut.go.id).

Sumut termasuk provinsi besar dari sisi luas wilayah dan jumlah penduduk. Luas provinsi ini mencapai 72.981 kilometer persegi dan jumlah penduduk tahun 2022 mencapai 15.115.206 orang atau menduduki petingkat empat nasional setelah tiga provisi di Pulau Jawa (www.sumut.bps.go.id).

Sebagaimana umumnya provinsi lain di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara memiliki heteroghenitas tinggi dari sisi etnis. Bagian pantai timur didominasi puak Melayu, sedangkan bagian paling Barat dihuni puak Nias. Nias merupakan pulau tersendiri, terpisah dari pulau Sumatera.

Di bagian barat hingga tengah provinsi yang terkenal dengan ikon wisata “Danau Toba” ini, lebih didominasi puak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, dan Angkola. Puak lain yang cukup menonjol adalah Jawa, Padang, Tionghoa, dan Tamil yang “ber-nenek moyang” dari Kawasan India. Karena keberagaman ini, Sumut layak disebut sebagai “Miniatur Indonesia” dan merupakan salah satu barometer manajemen keberagaman.

Terkait perkembangan agama Katolik di Sumut, merujuk laman Wikipedia, banyak versi yang beredar. Salah satu pendapat yakni dari Jan Bakker SJ, yang menulis di majalah “Basis” pada tahun 1969, bahwa agama Katolik sudah ada pada abad ke-7 Masehi dan berakar di Sumatra Utara yang kemudian menyebar ke daerah lain, termasuk pulau Jawa. Jan Bakker meyakini pula bahwa Katolik datang dari India Selatan. Katolik berkembang di India Selatan lewat perdagangan, lalu kemudian menyebar hingga ke Sumatra Utara. Gereja Katolik mulai masuk ke daerah Tapanuli tahun 600 Masehi oleh saudagar dari India bernama Thomas Christians.

Masih berdasarkan data Wikipedia, tahun 2021, jumlah penganut agama Katolik sebesar 653.814 orang atau 04,31% dari jumlah penduduk Sumatera. Jadi Katolik termasuk agama minoritas, jauh di bawah jumlah penganut agama Protestan yang mencapai 4.083.712 orang atau 26,90% dari seluruh penduduk Sumut. Keturunan umat Katolik Sumatera Utara ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru Nusantara dan menyatu dengan keuskupan, paroki, atau stasi di wilayah mereka tinggal. Salah satu daerah utama tujuan perantauan masyarakat Sumut adalah Jabodetabek, termasuk di dalamnya Paroki Pamulang Gereja Santo Barnabas.

Semoga umat Katolik asal Sumatera Utara yang menjadi warga Paroki Pamulang, senantiasa dapat merawat perbedaan yang menjadi kekayaan Gereja ini dari waktu ke waktu. Warna-warni yang ada pada puak-puak ini, diharapkan turut mewarnai Gereja.

Kiranya warga IKKSU terus menjadi mosaik-mosaik yang tetap menempel dalam gambar indah yang bernama Gereja Katolik Universal, yang merupakan sumber kasih, belarasa, dan sikap saling menghormati untuk kemuliaan nama-Nya. Sampai bertemu kembali dalam Misa Inkulturasi berikutnya. Horas, Mejuah juah, Njuah-juah, Ya’ahowu .

Dokumentasi : Komsos

Leave a Reply

Your email address will not be published.