Mukjizat Sembuh dari Kanker Kronis

Pesta Perak Bu Imelda

Penulis: Benediktus Krisna Yogatama

Didera kanker payudara stadium empat, Imelda Supriyanti tak pernah menyerah. Perempuan yang sehari-hari mengabdikan dirinya menjadi tenaga pendidik di SD Mater Dei, Pamulang, ini tak jemu mendaraskan doa memohon pertolongan dan berkat kesembuhan dari Tuhan. Sambil dibarengi dengan kesabaran menjalani terapi yang panjang, disiplin menjaga pola makan, dan jalani gaya hidup sehat, Tuhan pun mengangkat penyakit itu dari tubuh Imelda.

Ditemui awak PARAS pada Kamis siang usai mengajar, Imelda menyambut dengan senyuman hangat. Wajah perempuan 56 tahun ini segar seakan tak menunjukkan bahwa sekitar lima tahun lalu dirinya pernah mengidap kanker. “Puji Tuhan, saya sekarang sudah sembuh dari kanker,” ujar Bu Imel, panggilan akrab Imelda sehari-hari.

Di bawah hembusan penyejuk udara kelas dan sayup-sayup riuh rendah suara siswa-siswi yang bermain di halaman sekolah, Imelda pun mengungkapkan kehadiran nyata Tuhan dalam proses penyembuhannya. “Tuhan sungguh-sungguh hadir memberi kekuatan dan menemani saya melewati semuanya,” ujar Imelda.

Pergulatan

“Perjumpaan” Imelda dengan kanker payudara awalnya terjadi pada 1994. Saat itu, ia menemukan kista kecil pada tubuhnya. Memutuskan tidak mengambil tindakan medis, Imelda memilih untuk disiplin menjalani pola hidup sehat, rajin berolahraga, dan menjaga pola makan teratur. Hasilnya, Imelda hidup sehat dan menjalani aktivitasnya seperti biasa.

Lima belas tahun berselang “kawan” lama yang tak berkenan di tubuh itu kembali datang. Berawal dari kejadian nahas saat ibundanya sempat dirawat di rumah sakit hingga tiga bulan karena terjatuh. Hal itu menjadi beban pikiran yang menggelayuti Imelda, sehingga memicu hadirnya kembali gejala kanker itu. Imelda lalu memeriksakan dirinya ke praktik dokter herbal di bilangan BSD. Saat itulah dokter memberitahunya bahwa dirinya mengidap kanker. “Saat itu saya divonis dokter, ibu sudah kanker,” ujar Imelda menirukan ucapan dokternya.

Imelda begitu terpukul. Sosok Imelda yang supel dan suka bergaul berubah menjadi menutup diri dari lingkungan. Ia belum menceritakan hal ini kepada siapapun bahkan tidak kepada keluarga. Ia pun marah kepada Tuhan dan menjadi malas ke gereja.

Alih-alih membaik karena mengonsumsi obat, saat kembali memeriksa kondisi di dokter, kondisi Imelda malah menurun. Kata dokter, pemicunya adalah stress dan beban pikiran. Saat itu memang emosi Imelda menjadi meledak-ledak dan sangat mudah marah. Murid-muridnya kerap kali menjadi sasaran gejolak emosinya.

“Saya sadar setelah marah ke muridnya, ini aku yang keliru. Lalu apa yang harus aku lakukan?”

Setelah tiga bulan berlalu, bertepatan dengan hari raya Paskah tahun 2010, akhirnya Imelda memutuskan untuk mengaku dosa. Imelda berhadapan dengan Pastor Yulianus Puryanto, SCJ, yang saat itu masih menjadi pastor kepala di Paroki Rasul Bernabas. Ia lalu mengungkapkan kepada Romo Pur, panggilan akrab Pastor Yulianus Puryanto, bahwa dirinya mengidap kanker.“Romo Pur sangat membantu saya. Sampai hari ini saya masih ingat betul nasehat ada empat nasehat dari romo yang kemudian saya jalankan,” ujar Imelda.

Pertama, lanjut Imelda seperti menirukan Romo Pur, dalam sakit apapun, kita harus memohon pengampunan pada Tuhan. Bertobat adalah langkah awal yang benar. Melalui sakramen tobat, Imelda diajak untuk pasrah dan mohon ampun dari segala dosa dan dendam yang pernah dilakukan.

Yang kedua, Imelda diminta Romo Pur untuk mengampuni. Sebab, bibit dari penyakit adalah jiwa yang tidak damai.

Pesan yang ketiga, Romo Pur meminta Imelda untuk membuka diri dan menceritakan kondisinya kepada keluarga. Sehari-hari Imelda hidup sendiri. Kondisinya yang mengidap kanker itu baru diketahui dokter dan Romo Pur saja. Rekan-rekan guru dan kepala sekolah pun belum tahu kondisinya, sebab dia selalu diam-diam saat pergi ke dokter.

Lalu pesannya yang keempat adalah meminta Imelda untuk mencari teman sesama pengidap kanker namun yang sudah sehat. Hal ini agar Imelda bisa berbagi keluh kesah, semangat, serta tips agar bisa segera sehat kembali.“Keempat pesan ini saya patuhi dan laksanakan. Saya merasakan penyertaan Tuhan hadir dalam pesan Romo Pur,” ujar Imelda.

Kekuatan dan kesabaran

Setelah lebih dari tiga tahun menjalani pengobatan herbal, pada Juni 2013 dokternya mengatakan, sudah tiba saatnya bagi Imelda untuk menjalani kemoterapi di rumah sakit. Akhirnya setelah persiapan mental dan finansial, pada Desember 2013 Imelda putuskan berangkat ke Yogyakarta untuk menjalani kemoterapi sambil ditemani keluargnya.

Saat itu, pola makan Imelda harus sangat dijaga yakni wajib makan putih telur sebanyak delapan buah per hari. Nafsu makan Imelda juga menurun karena indera perasa dan penciumannya ikut terganggu. Namun, keluarganya sangat mendukung  dengan terus mengingatkan untuk harus mengonsumsi delapan putih telur per hari dan mengonsumsi makanan bergizi lainnya.

Pada malam hari, Imelda seringkali kesulitan untuk tidur. Badannya terasa nyeri seperti ditusuk jarum. Saat itulah, sambil berbaring Imelda tak jemu mendaraskan doa kepada Tuhan memohon kekuatan untuk menjalani semuanya.

“Saya ingat pesan Romo Pur, berdoa tidak perlu harus selalu dalam posisi duduk berlutut, sambil berbaring saya mengucap kepada Tuhan saja sudah dengar. Doa Bapa Kami dan Salam Maria itu saya ulangi terus menerus sampai perlahan rasa sakit hilang dan saya tertidur,” ujar perempuan hobi berolahraga ini.

Setiap melalui tahapan medis pun, tak pernah lupa Imelda berdoa pada Tuhan. “Saya seperti orang bercerita saja. Ya Tuhan Yesus dan Bunda Maria, saya hari ini menjalani kemoterapi. Tuhan aku ingin sembuh. Kuatkanlah diriku. Lancarkanlah proses pengobatan ini dengan sempurna,” ungkap Imelda.

Akhirnya setelah empat kali menjalani kemoterapi, dokter mengatakan, tiba saatnya bagi Imelda untuk menjalani operasi. Puji Tuhan, dengan diiringi doa dan usaha, operasi berjalan lancar dan membuahkan hasil positif bagi Imelda.

Meski demikian, proses pengobatan masih terus berlanjut. Ia masih menjalani pengobatan pasca operasi. Saking banyaknya pasien, Imelda harus rela menunggu hingga berjam-jam untuk mendapat giliran penanganan medis. “Semua saya bawa saja dalam doa. Kekuatan dan kesabaran itu datangnya dari Tuhan,” ujar perempuan sering meluangkan waktu berdoa dan berziarah ke goa maria di sejumlah daerah ini.

Perlahan-lahan proses pengobatannya membuahkan hasil. Kesehatan Imelda terus membaik. Akhirnya setelah bertahun-tahun bergulat dalam pengobatan, tibalah Imelda di penghujung pengobatannya. Kala itu Imelda memberanikan diri bertanya kepada dokter, sebetulnya kondisi kankernya itu seberapa parah dan sudah masuk stadium ke berapa. Jadi bertahun-tahun mengidap kanker, Imelda tidak pernah tahu seberapa kronis kanker yang mendera tubuhnya.

Sebetulnya Imelda selalu bertanya ke dokter-dokternya yang sebelumnya mulai dari dokter pengobatan herbal di BSD hingga dokter di Yogyakarta.  Namun, mereka selalu kompak menjawab bahwa tingkat kronis kanker seorang pasien itu hanya bermanfaat untuk dokter, pasien tidak perlu tahu. Mengingat, kesehatannya sudah baik, dokter ini pun membeberkan bahwa Imelda baru saja sembuh dari kanker payudara stadium empat.

“Saat mendengar itu, saya menangis. Terharu dan lega. Sambil mengucap syukur, betapa baiknya Tuhan terhadap diriku menyembuhkanku dari penyakit yang begitu mengerikan,” ujar Imelda yang juga menitik kembali air matanya saat mengungkapkan kembali kisahnya.

Sembilan bulan berhenti sejenak mengajar untuk berobat, Imelda kembali ke Pamulang untuk mengajar murid-murid. Guru yang telah mengajar di SD Mater Dei sejak tahun ajaran 1992/1993 ini disambut hangat kepala sekolah, guru-guru, murid-murid, dan orangtua murid. Imelda sudah kembali mengajar seperti sedia kala. “Mukjizat itu nyata sampai hari ini.

Pesan saya untuk para pengidap kanker, untuk jangan putus asa. Tetap berusaha karena Tuhan punya rencana yang terindah untuk kita semua,” tutup Imelda.

Leave a Reply

Your email address will not be published.